Kesenian Khas Cirebon


Cirebon selain terkenal akan kesultanannya juga lekat dengan berbagai kesenian rakyat. Sayangnya beberapa kesenian tradisional ini hampir punah karena tergerus jaman. Kesenian tradisional ini dulunya digunakan oleh Sunan Gunung Jati dan Wali Songo lainnya untuk menyebarkan agama islam di tanah Sunda. Selain itu kesenian ini juga digunakan sebagai alat diplomasi ketika Kesultanan Cirebon terancam kalah oleh serangan kerajaan lainnya.

Minat generasi penerus yang kurang hingga tergerus oleh kesenian modern lainnya, membuat pelaku seni tradisional ini kian sedikit dan sampai sekarang hampir punah.Misalnya Tarling yang terkenal di tahun 50-an mulai tergerus jaman seiring hadirnya musik dangdut. Selain tarling ada beberapa kebudayaan Cirebon dan tradisi Cirebon yang hampir punah yang akan diulas lebih lanjut berikut ini.

Berikut Kesenian Tradisional Cirebon Yang Hampir Punah

1. Tarling
Kesenian khas pesisir laut Jawa ini merupakan pertunjukan musik disertai drama pendek. Tarling diambil dari kata Gitar dan Suling.
Kedua instrumen ini memang kerap melekat di kesenian tradisional Cirebon ini. Awal perkembangan tarling tidak terlalu jelas kapan tepatnya. Namun sekitar tahun 1950-an kesenian ini mulai disiarkan di RRI Cirebon dan menjadikan Tarling semakin populer.
Semenjak meluasnya musik dangdut pada tahun 1980, kesenian ini kian terdesak dan popularitasnya menurun. Hal ini pula yang memaksa seniman tarling memasukan unsur dangdut kedalamnya untuk menarik minat penonton.

2. Sintren

Tari Sintren merupakan tarian yang kaya akan unsur mistis. Kesenian ini makin langka dijumpai untuk saat ini.Sintren dikenal pada awal 1940 dengan berbagai bumbu mitologi yang menyelimutinya. Dulunya tarian ini dipercaya berasal dari kisah Sulandono dengan Sulasih yang hubungan asmaranya tidak mendapat restu.
Keduanya bertapa satu sama lain dan bertemu di alam gaib. Pertemuan gaib keduanya diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukan roh bidadari ke tubuh Dewi Sulasih. Hal inilah yang menyebabkan penari sintren kemasukan roh bidadari ketika sedang menari.
Di tengah-tengah kawih, muncullah Sintren yang masih muda belia. Yang konon haruslah seorang gadis, karena kalau Sintren dimainkan oleh wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas. Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki, sehingga secara logika, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca doa dengan asap kemenyan mengepul. Dan Juru kawih pun terus berulang-ulang nembang.
Ketika kurungan dibuka, anehnya sang sintren telah berganti busana lengkap dengan kaca mata hitam. Setelah itu sang sintren pun akan menari. Tarian sintren sendiri lebih mirip orang yang ditinggalkan rohnya. Terkesan monoton dengan gesture yang kaku dan kosong. Dan disinilah uniknya kesenian ini. Ketika sang sintren menari, para penonton akan melemparkan uang logam ke tubuh sang penari. Ketika uang logam itu mengenai tubuhnya, maka penari sintren pun akan pingsan dan baru akan bangun kembali setelah diberi mantra-mantra oleh sang pawang.
Setelah bangun kembali, sang penari sintren pun meneruskan kembali tariannya sampai jatuh pingsan lagi ketika ada uang logam yang mengenai tubuhnya. Dan konon, ketika menari tersebut, pemain sintren memang dalam keadaan tidak sadar alias kerasukan. Misteri ini hingga kini belum terungkap, apakah betul seorang Sintren berada dibawah alam sadarnya atau hanya sekadar untuk lebih optimal dalam pertunjukan yang jarang tersebut.

3. Tari Topeng

Tari Topeng tak hanya terkenal di Jakarta saja namun juga menjadi kesenian tradisonal Cirebon. seni ini menunjukan berbagai cerita bersejarah dan penuh hikmah dalam bentuk tarian topeng.
Tari topeng berasal dari diplomasi dalam bentuk kesenian. Hal ini karena ketika pada masa Sunan Gunung Jati terjadi serangan dari Pangeran Welang dari Karawang. Sunan Gunung Jati tidak bisa menandingi pedang Curug Sewu yang dihunus Pangeran Welang dan akhirnya Sultan Cirebon memutuskan diplomasi dengan kesenian untuk berdamai.

Dalam tarian ini biasanya sang penari berganti topeng hingga tiga kali secara simultan, yaitu topeng warna putih, kemudian biru dan ditutup dengan topeng warna merah. Uniknya, tiap warna topeng yang dikenakan, gamelan yang ditabuh pun semakin keras sebagai perlambang dari karakter tokoh yang diperankan. Tarian ini diawali dengan formasi membungkuk, formasi ini melambangkan penghormatan kepada penonton dan sekaligus pertanda bahwa tarian akan dimulai. Setelah itu, kaki para penari digerakkan melangkah maju-mundur yang diiringi dengan rentangan tangan dan senyuman kepada para penontonnya.

Gerakan ini kemudian dilanjutkan dengan membelakangi penonton dengan menggoyangkan pinggulnya sambil memakai topeng berwarna putih, topeng ini menyimbolkan bahwa pertunjukan pendahuluan sudah dimulai. Setelah berputar-putar menggerakkan tubuhnya, kemudian para penari itu berbalik arah membelakangi para penonton sambil mengganti topeng yang berwarna putih itu dengan topeng berwarna biru. Proses serupa juga dilakukan ketika penari berganti topeng yang berwarna merah. Uniknya, seiring dengan pergantian topeng itu, alunan musik yang mengiringinya maupun gerakan sang penari juga semakin keras. Puncak alunan musik paling keras terjadi ketika topeng warna merah dipakai para penari.

Setiap pergantian warna topeng itu menunjukan karakter tokoh yang dimainkan, misalnya warna putih. Warna ini melambangkan tokoh yang punya karakter lembut dan alim. Sedangkan topeng warna biru, warna itu menggambarkan karakter sang ratu yang lincah dan anggun. Kemudian yang terakhir, warna merah menggambarkan karakter yang berangasan (temperamental) dan tidak sabaran. Dan busana yang dikenakan penari biasanya selalu memiliki unsur warna kuning, hijau dan merah yang terdiri dari toka-toka, apok, kebaya, sinjang, dan ampreng.

4. Kesenian Gambyung

Kesenian Gambyung merupakan peninggalan Wali Songo dan dikembangkan dari kalangan yang tumbuh di lingkungan pesantren. Kesenian tradisional Cirebon ini digunakan untuk menyebarkan agama islam dari jalan kesenian. 

Salah satu ciri khas Gambyung adalah alat musik bernama Terbang yang digunakan.
Biasanya Gambyung dipertunjukan dalam acara Maulid Nabis, Rajaban, dll. dari tahun ke tahun, Gambyung mulai terkikis dengan kesenian lainnya dan saat ini sudah sangat jarang dimainkan.

5. Genjring Rudat

Kesenian selanjutnya yang di miliki kota Cirebon adalah kesenian yang bernama Genjring Rudat, di mana kesenian ini merupakan sebuah kesenian yang berkembang di lingkungan pesantren. Jenis alat musik yang biasa di gunakan dalam kesenian Genjring rudat berupa Genjring, bedug , dan terbang yang di iringi dengan pujian-pujian kepada Allah dan Rasul Allah.
 
6. Angklung Bungko 

Kesenian kota Cirebon yang dikenal dengan nama angklung Bungko yang sering di pentaskan dalam acara-acara adat di antaranya nyadran, ngunjung buyut, dan masih banyak acara adat lainnya. Dalam kesenian angklung Bungko ini si penari akan menampilkan berbagai jenis tarian seperti tari benteleye , Panji dan tari tari lain nya .

Demikianlah berbagai kesenian tradisional Cirebon yang hampir punah. Selayaknya kita mengenali kesenian tersebut dan turut melestarikannya agar tidak punah terkikis jaman. Semoga bermanfaat.

0 Komentar